vrijdag 21 juni 2019

Syair Islam Wasatiya

On 20 June 2019 there was a final cultural event, with music and one poem (by the author of this blog) and more speeches on the theme of Wasatiya. There was a good number of Dutch academics as well: in Islamic studies the Indonesians are now sending many PhD candidates and among the Dutch academics I saw Dick Douwes (Rotterdam), Thijl Sunier (Amsterdam, Free University) and Frans Wijsen of Nijmegen, the latter with a nice black pici, the nationalist drew, taken from turkey by the Indonesians.
While reading my poem on Islam Wasatiya I made a mistake and used the word Wataniya  or 'nationalist' instead of Wasatiya which stand for moderate, middle of the road between extremes. But in fact the word was often used to indicate the distance between Indonesian Islam and the Arab Salafi Islam.


Syair Islam Wasatiya
Untuk PCINU, Nijmegen-Den Haag, 19-20 Juni 2019, read by Prof. Karel Steenbrink

Tritunggal Priyayi, Abangan dan Santri sudah habis
Priyayi tetap ada, tapi namanya tidak laris
Abangan dianggap bodoh dan kurang persis
Santri sudah naik pangkat: menjadi akademis!

Bagi NU tidak ada musuh lagi yang namanya abangan
Sekarang yang ditolak diberikan nama puritangan
Atau diberikan cap radikalangan
Dari Arab mau hidup keterasingan

Kata yang laris sekarang wasatiya
Ya, jangan pakai salafiya
Jangan meniru keledai Arab dengan sia-sia
Terhadap yang lokal, ya, katalah iya-iya

Juga Muhammadiyah tidak lagi tolak TBC
Takhayyul, bid’ah, khurafat naik pangkat, sudah CC
Aliran ini, gerakan itu, ya, sudah ye-ye
Asal ada cap lokal dan asli, jadi OK

Geen opmerkingen:

Een reactie posten